Selamat Datang di Website Resmi
Oleh : Nur Ismawati, S.Si, M.Si
Guru merupakan elemen penting dalam dunia pendidikan. Peran dan tanggung jawab guru dituangkan dalam UU No 14/2005 yang menyebutkan bahwa guru sebagai agen pembelajaran (learning agent) yang harus menjadi fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik.
Anggaran pendidikan tahun 2018 niliainya mencapai Rp444 triliun, atau 20% dari total APBN. Ironisnya, sebagian besar anggaran pendidikan tersebut digunakan untuk membayar gaji dan tunjangan guru. Rata-rata tingkat penghasilan guru mengalami lonjakan tiga kali lipat. Sementara itu, alokasi untuk pembangunan maupun renovasi sekolah masih sangat kecil.
Kenyataannya, kualitas pendidikan di Indonesia masih jauh dari memadai. Besarnya anggaran pendidikan tidak serta-merta menjadikan kualitas pendidikan meningkat. Mengapa? Karena kualitas guru masih bermasalah. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) 2015, rata-rata nasional hanya 44,5, berada jauh di bawah nilai standar 55. Bahkan, kompetensi pedagogik, yang menjadi kompetensi utama guru pun belum menggembirakan. Masih banyak guru yang cara mengajarnya masih text book, cara mengajar di kelas yang membosankan.
Pendidikan di Indonesia pada tahun 2016 berada di peringkat ke-62 dari 69 negara. Hal ini menjadi cermin konkret akan kualitas dan kompetensi guru di Indonesia. Harus ada langkah serius untuk membenahi kualitas guru.
Masih banyak guru yang menjalankan proses belajar-mengajar dengan pola top down. Guru merasa berkuasa untuk ‘membentuk’ siswanya. Ibaratnya, guru menjadi ‘teko’ dan siswa sebagai ‘gelas’ sehingga siswa hanya menerima apa pun yang dituangkan guru. Siswa tidak diajarkan untuk mengeksplorasi kemampuan dirinya. Siswa hanya bisa disuruh tanpa diajarkan untuk mengenal diri dan potensi yang ada dalam dirinya.
Perlu dipahami bahwa belajar bukanlah proses untuk menjadikan siswa sebagai ‘ahli’ pada mata pelajaran tertentu. Siswa lebih membutuhkan ‘pengalaman’ dalam belajar, bukan ‘pengetahuan’. Karena itu, kompetensi guru menjadi syarat utama tercapainya kualitas belajar yang baik. Guru yang kompeten akan ‘meniadakan’ problematik belajar akibat kurikulum. Kompetensi guru harus berpijak pada kemampuan dalam mengajarkan materi pelajaran secara menarik, inovatif, dan kreatif yang mampu membangkitkan gairah siswa dalam belajar.
Konsekuensinya, untuk meningkatkan kualitas pendidikan sangat dibutuhkan guru-guru yang mampu mengubah kurikulum menjadi unit pelajaran yang mampu menembus ruang-ruang kelas. Kelas sebagai ruang sentral interaksi guru dan siswa harus menyenangkan. Guru tidak butuh kurikulum yang mematikan kreativitas siswa. Seharusnya, guru menjadi sosok yang tidak dominan di dalam kelas. Guru bukan orang yang tahu segalanya. Guru pun bukan pendidik yang berbasis kunci jawaban, melainkan guru penuntun siswa agar ‘menemukan’ bidang pelajaran yang paling disukainya.
Tujuan besar perubahan kurikulum tentu akan sia-sia apabila mindset guru tidak berubah. Guru ialah kreator dan tidak perlu text book terhadap kurikulum. Guru tidak boleh nyaman dengan cara belajar yang satu arah. Sekali lagi, kualitas pendidikan hanya bisa terjadi bila guru mengajar dengan hati, bukan hanya logika.
Kualitas guru
Persoalan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia tentu tidak bisa dijawab dengan cara mengubah kurikulum, atau bahkan mengganti menteri atau dirjen. Kualitas pendidikan hanya bisa dijawab oleh kualitas guru. Guru yang profesional, guru yang berkualitas ialah jaminannya. Tanpa perbaikan kualitas guru, kualitas pendidikan akan tetap jauh dan tidak memadai.
Persoalan guru tidak sederhana. Kualitas guru hanya akan dapat diraih bila kompetensi keguruan bisa dioptimalkan. Kompetensi guru, prinsip dasarnya adalah memetakan faktor-faktor yang menyebabkan tidak kompetennya guru dalam mendidik.
Setidaknya dapat diduga ada empat penyebab rendahnya kompetensi guru.
1. Ketidaksesuaian disiplin ilmu dengan bidang ajar (miss-match). Masih banyak guru di sekolah yang mengajar mata pelajaran yang bukan bidang studi yang dipelajarinya. Hal ini terjadi karena persoalan kurangnya guru pada bidang studi tertentu.
2. Kualifikasi guru yang belum setara sarjana. Konsekuensinya, standar keilmuan yang dimiliki guru menjadi tidak memadai untuk mengajarkan bidang studi yang menjadi tugasnya. Bahkan, tidak sedikit guru yang sarjana, tetapi tidak berlatar belakang sarjana pendidikan sehingga ‘bermasalah’ dalam aspek pedagogik.
3. Rekrutmen guru yang tidak efektif karena masih banyak calon guru yang direkrut tidak melalui mekanisme yang profesional, tidak mengikuti sistem rekrutmen yang dipersyarakatkan. Kondisi ini makin menjadikan kompetensi guru semakin rendah.
4. Program peningkatan keprofesian berkelanjutan (PKB) guru yang rendah. Masih banyak guru yang ‘tidak mau’ mengembangkkan diri untuk menambah pengetahuan dan kompetensinya dalam mengajar. Guru tidak mau menulis, tidak membuat publikasi ilmiah, atau tidak inovatif dalam kegiatan belajar. Guru merasa hanya cukup mengajar.
Sangat jelas, bahwa kualitas pendidikan ada di tangan guru. Kurikulum memang penting tapi tidak urgen bagi kualitas pendidikan. Menteri sehebat apa pun tidak terlalu penting bagi mutu pendidikan. Upaya memajukan generasi bangsa melalui pendidikan, tidak lagi bisa dibangun oleh diskusi tentang teori-teori untuk memajukan pendidikan. Terlalu banyak perdebatan tentang kurikulum yang efektif.
Namun sayang, kita terlalu sedikit bertindak untuk membenahi kualitas dan kompetensi guru dalam mendidik.
Pendidikan akan semakin rumit ke depan bila kualitas guru memang lemah. Maka, kompetensi harus segera ditingkatkan. Itulah titik penting kualitas pendidikan Indonesia saat ini dan ke depannya
Bagikan ke sosial media :