Selamat Datang di Website Resmi
* Oleh : Nur Ismawati, S.Si
Jenjang pendidikan menengah di Indonesia terbagi menjadi Sekolah Menengah Atas ( SMA ), Sekolah Menengah Kejuruan ( SMK ) dan Madrasah Aliyah. Dulu jika kita mendengar istilah SMK, maka yang terbersit adalah murid laki-laki brutal yang suka tawuran dan selalu meletakkan buku di punggung . Dulu ketika kita bertemu dengan gerombolan siswa SMK, selalu ada perasaan takut karena kebrutalan dan rawan tawuran. Dulu ketika bertemu dengan siswa SMK laki-laki, maka kita mengenalnya dengan STM. Siswi SMK perempuan, kita kenal dengan SMEA ( jurusan perkantoran dan admnistrasi ), dan SMKK ( tata boga dan tata busana ).
Sekarang semua label STM, SMEA maupun SMKK dilebur menjadi satu di bawah bendera SMK. Hanya saja, bendera SMK sekarang dikelompokkan menjadi Teknologi dan Rekayasa serta Bisnis dan Manajemen. Perbandingan jumlah siswa putra maupun putri pun tidak memiliki batasan, sehingga siapapun berhak untuk memilih kompetensi keahlian yang diinginkan, seperti Teknik Komputer dan jaringan, Rekayasa Perangkat Lunak, Elektronika Industri, Teknik Otomotif, Tata Busana, Tata Boga, Akuntansi, Sekretaris dan lain-lain.
Seiring dengan arus globalisasi dan industrialisasi di negeri ini, terlebih setelah dibukanya pasar bebas yang kita kenal dengan MEA ( Masyarakat Ekonomi Asean ), maka mau tidak mau Indonesia juga harus siap dengan segala konsekuensinya. Termasuk diantaranya adalah dengan meningkatnya jumlah tenaga kerja asing yang datang ke Indonesia. Tidak bisa kita hindari kemungkinan adanya peralihan dari tenaga kerja manusia ke tenaga kerja mesin atau yang kita kenal dengan “ robot “, khususnya untuk industry-industri manufaktur yang banyak menyerap tenaga kerja manusia. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa untuk efisiensi pembiayaan khususnya untuk gaji karyawan, maka industry tertentu lebih menyukai mempekerjakan tenaga kerja asing yang siap dengan upah rendah daripada tenaga kerja dari negeri sendiri yang belum apa-apa sudah menuntut gaji tinggi. Bahkan yang sedang berkembang saat ini dan banyak kita lihat adalah posisi-posisi strategis (middle management level) lebih banyak dikuasai oleh orang asing daripada SDM kita sendiri. Apakah kita hanya akan berdiam diri melihat fenomena ini ?
Sebagai pemasok SDM untuk tenaga professional tingkat terampil, maka harus ada usaha preventif dari SMK untuk bisa menghasilkan lulusan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan industry. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh sekolah agar lulusannya lebih kompetitif, antara lain :
Oleh karena itu dalam memikul tanggung jawabnya pada masalah Kompetensi lulusan, SMK harus mampu:
(1) menjaga dan meningkatkan kualitas kompetensi;
(2) memahami kebutuhan DU/DI akan tenaga kerja yang kompetitf
(3) memiliki wawasan tentang perkembangan lingkungan yang berdampak pada kebutuhan DU/DI;
(4) menganalisa dan menyimpulkan kebutuhan DU/DI;
(5) mengembangkan inisiatif, kreativitas dan jaringan;
(6) menganalisa dan menginterprestasikan sejumlah informasi ;
(7) menyusun strategi pengembangan yang efektif dalam memenuhi kebutuhan pelanggan
Ada dua perspektif yang berbeda untuk mengurangi kesenjangan standar
kompetensi lulusan dimana keduanya harus dilakukan oleh pihak SMK dan pihak DU/DI. Dua hal yang bisa dilakukan adalah :
(1) setting pembelajaran dikemas dalam suasana kerja dan berpikir cara dunia usaha dan industri;
(2) pihak DU/DI memahami secara tepat proses pembelajaran.
Jika hal ini bisa dilakukan maka kesenjangan akan teratasi
(* Penulis saat ini merupakan guru Fisika SMK Texmaco Semarang )
Bagikan ke sosial media :