Selamat Datang di Website Resmi
JAKARTA, (PR).- Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir optimistis pendidikan tinggi vokasi atau politeknik akan menjadi favorit. Pasalnya, dengan beragam langkah revitalisasi, pemerintah terus mendorong politeknik untuk mencetak lulusan yang sesuai dengan kebutuhan industri. Dengan demikian, tenaga kerja Indonesia akan menjadi produktif dan berdaya saing global.
Nasir mengatakan, pendidikan tinggi vokasi mendapat perhatian khusus dari Presiden Joko Widodo. Tanpa mengerdilkan peran pendidikan tinggi umum, politeknik dipersiapkan untuk menyambut bonus demografi 2030. Sebagian besar negara maju sangat mengandalkan lulusan politeknik untuk menopang perekonomian dalam negerinya masing-masing.
"Untuk mampu bersaing di ranah nasional maupun global, industri suatu negara harus didukung oleh tenaga kerja yang produktif. Produktivitas tenaga kerja ditentukan oleh kompetensi tenaga kerja yang dapat membantu memajukan daya saing perekonomian suatu bangsa. Revitalisasi politeknik akan terus berlanjut, termasuk menyediakan sarana dan prasarananya yang mendukung," ujar Nasir di Kantor Kemenristekdikti Senayan, Jakarta, Senin 30 Oktober 2017.
Revitalisasi pendidikan tinggi vokasi melibatkan sejumlah kementerian dan lembaga negara. Di antaranya Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Pariwisata, dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Semua kementerian terkait mengelola pendidikan tinggi vokasi yang sesuai dengan bidangnya. Sebagai contoh, Kemenaker mengelola Politeknik Ketenagakerjaan di Bekasi dan Kemenpar mengelola Sekolah Tinggi Pariwisata di Bali.
“Pendidikan vokasi di Indonesia baru sekitar 16%. Politeknik harus kami dorong terus agar berkualitas dan unggul. Dengan begitu saya yakin ke depannya pendidikan vokasi akan menjadi salah satu pilihan favorit bagi anak-anak di Indonesia untuk mengemban pendidikan yang lebih tinggi,” tutur mantan Rektor Undip ini.
Ia menyatakan, Cina sudah berhasil merevitalisasi pendidikan vokasi. Menurut dia, hampir 56% perguruan tinggi di Ciba merupakan pendidikan vokasi. Sedangkan di Indonesia, dengan jumlah perguruan tinggi yang lebih banyak ketimbang Cina, tenaga kerja produktifnya lebih sedikit.
“Kompetensi tenaga kerja banyak dipengaruhi oleh pengalaman semasa kerja dan pengalaman kerja semasa masih menjadi peserta didik. Saat ini, pendidikan vokasi menjadi kunci jawaban atas kebutuhan tenaga kerja yang produktif dan kompetitif,” ujar dia.
Ia menuturkan, ke depannya, para dosen di politeknik tidak hanya berasal dari lulusan akademik dengan syarat lulusan pendidikan S1 ataupun S2. Terapi juga melibatkan praktisi industri yang sudah menjadi ahli di bidangnya. Menurut dia, lulusan politeknik juga akan mengantongi sertifikat kompetensi selain mendapatkan ijazah. Dengan demikian, mahasiswa politeknik tidak hanya menjadi ahli madya tetapi juga diarahkan untuk memiliki sertifikasi industri.
“Ini pernah terjadi ketika seseorang ingin menjadi dosen di politeknik dengan riwayat pendidikannya hanya sampai Diploma 3 (D3) Pelayaran, tetapi dia memiliki riwayat kerja bersama nahkoda selama 10 tahun dan memiliki sertifikat tertinggi pada bidangnya, artinya pengalamannya ini menjadikan ia bisa lebih mumpuni dan layak untuk menjadi dosen di politeknik dengan berbagai pertimbangan,” kata dia.
Direktur Jenderal Kelembagaan Iptek dan Dikti Kemenristekdikti Patdono Suwignjo menambahkan, saat ini, 95% dosen politeknik tak memiliki pengalaman kerja di dunia industri.
“Jadi dosen-dosennya itu bagus dari sisi akademik saja, tak punya pengalaman kerja. Padahal, di politeknik harus banyak praktik dari pada teori. Mengajar mahasiswa politeknik tidak cukup dengan omong-omongan di kelas, harus lebih banyak praktik. Dosen RPL ini akan mengisi kekurangan tersebut,” ujar dia. ***
Bagikan ke sosial media :