Selamat Datang di Website Resmi

SMK TEXMACO SEMARANG





Blog 26 September 2017 / Susi Agustini

Belajar Dari Tragedi Gladiator

Dunia pendidikan Indonesia untuk kesekian kalinya kembali tercoreng. Setelah beberapa pekan lalu dihebohkan dengan membanjirnya peredaran ribuan obat jenis psikotropika jenis Paracetamol Caffeine Carisoprodol (PCC) di Kendari, Sulawesi Tenggara. Menyebabkan puluhan siswa mabuk, berperilaku aneh bahkan ada korban siswa SD meninggal karena mengkonsumsi PCC. Perhatian publik kembali terhenyak dengan adanya tragedi berdarah Gladiator yang menewaskan seorang siswa SMA Budi Mulya Bogor. Hillarius Christian Event Raharjo tewas karena dipaksa berduel ala gladiator dengan pelajar SMA Mardi Yuana Bogor. Duel maut itu terjadi sekitar pukul 15.00 WIB, di Taman Paluhu, Bogor.

Satu setengah jam terlibat baku hantam, Hillarius tidak sadarkan diri dan dibawa salah seorang rekannya ke RS Azra. Namun nyawanya sudah tidak tertolong. dan orang tuanya pun mendapatkan kabar duka dari pihak rumah sakit. Jenazah Hillarius dimakamkan dengan sejuta misteri penyebab kematian. Penyelidikan atas penyebab kematiannya muncul dan tenggelam. Pihak Kepolisian sempat turun tangan, namun penyelidikan kasus ini dihentikan karena pihak keluarga menolak untuk dilakukannya otopsi.

Dua puluh bulan berlalu, pada tanggal 20 September Maria, ibunda Hillarius mengunggah status di akun Facebooknya yang menceritakan kisah pilu kematian sang buah hati. Dalam unggahannya Maria seakan mencari keadilan, ia mempertanyakan pengusutan kasus kematian anaknya yang terhenti ditengah jalan. Bahkan ia juga melayangkan curhatannya ke Presiden Jokowi lewat media sosial. Usahanya ini membuahkan hasil penyelidikan penyebab kematian Hillaris kembali dilakukan. Makam Hillarius dibongkar dan jenazahpun diotopsi. Tim ahli forensik menemukan luka robek sepanjang 4 cm di ulu hatinya.

Pihak Kepolisian pun terus mengembangkan penyelidikan. Menurut keterangan Kapolres Bogor Kota Kombes Pol Ulung Sampurna Jaya yang dikutip dari Liputan6.com, Hilari diduga sempat menyerah karena dia tidak bisa berduel. Namun, dia dipaksa duel kembali oleh seniornya hingga ajal menjemputnya. Ada empat orang pelaku yang berinisial BV, HK, MS dan TB dengan perannya masing-masing ditangkap oleh polisi. BV bertarung dengan Hillarius, HK berperan menyuruh melakukan kekerasan, MS sebagai wasit dan TB yang menyuruh dan menempatkan korban untuk berduel. MS selain berperan sebagai wasit juga ikut melakukan kekerasan.

Berdasarkan informasi yang beredar tradisi duel ala Gladiator ini sudah berlangsung lama. Tradisi ini sudah berlangsung sekitar lima tahun dan menjadi tradisi tahunan setiap menjelang turnamen basket di Kota Bogor. Masing-masing sekolah diwakili lima orang. Kemudian mereka duel satu lawan satu secara berbarengan di tengah lapangan. Sungguh miris mendengarnya. Generasi Y, generasi era millenial berperilakunya kembali pada zaman Romawi kuno. Tradisi barbar yang tidak manusiawi. Masyarakat berkomentar kenapa baru ketahuan sekarang ? Kemana saja pihak sekolah ? Guru-gurunya kenapa tidak tahu siswa-siswanya berduel sampai meregang nyawa. Akhirnya sekolah dan guru yang kena tunjuk hidung.

Ada praktek-praktek kekerasan atau bullying yang mengakar dan sulit dituntaskan di lingkungan sekolah. Mazzola (2003) melakukan survei tentang bullying (tindak kekerasan) di sekolah. Hasil survei memperoleh temuan sebagai berikut: (1) setiap hari sekitar 160.000 siswa mendapatkan tindakan bullying di sekolah, 1 dari 3 usia responden yang diteliti (siswa pada usia 18 tahun) pernah mendapat tindakan kekerasan, 75-80% siswa pernah mengamati tindak kekerasan, 15-35% siswa adalah korban kekerasan dari tindak kekerasan maya (cyber bullying).

Kasus kematian Hillarius ini mencuat dan sekaligus menjadi penyingkap tabir adanya praktek tindakan kekerasan lain di kalangan pelajar. Bukan hanya tradisi Gladiator ala Bom-boman di Bogor, tapi ada praktek gladiator-gladiator lain di kalangan pelajar. Di era tahun 1990 pelajar SMA di Jakarta akrab dengan tawuran, duel yang dilakukan beramai-ramai dengan dilengkapi beragam senjata, maka pada awal tahun 2000-an wujudnya berubah menjadi "partai". Partai adalah istilah duel bebas tanpa senjata satu lawan satu yang menjadi cikal bakal tradisi duel gladiator yang belakangan ramai diperbincangkan itu. Partai sangat melekat pada identitas pelajar swasta. Jika beberapa sekolah negeri masih banyak yang tawuran, gladiator ala partai dianggap anak-anak sekolah swasta lebih jantan.

Ada yang berkomentar kalau tradisi Gladiator yang dilakukan menjelang ajang bergengsi anak SMA Di Bogor ini persis seperti tayangan film Green Street Hooligans. Film ini disutradarai oleh Lexi Alexander dan dibintangi oleh Elijah Wood dan Charlie Hunnam. Film ini menceritakan tentang sebuah genk pemuja klub sepak bola, yang pastinya anggotanya adalah cowok-cowok Inggris yang hobi berkelahi. Adegan kekerasan dan penuh konflik banyak ditampilkan di dalam film ini. Bedanya tradisi duel di film itu dilakukan untuk menyambut pertandingan sepak bola antar klub..

Ada determinasi antara pengaruh tayangan kekerasan atau agresivitas terhadap munculnya perilaku kekerasan pada anak dan remaja. Setiap hari masyarakat kita disuguhi berbagai informasi kekerasan. Setiap kali selalu dijumpai berita-berita mengenai kriminilaitas seperti pembunuhan, perampokan, perkosaan, pembacokan dan sebagainya. Masyarakat selalu mendapat suguhan adegan-adegan kekerasan di televisi. Stasiun-stasiun televisi swasta selalu menayangkan film-film bertema kekerasan, seperti film action, perang, silat, maupun horror.

Bahkan tayangan iklan rokok ternama saja menayangkan adegan duel atau kekerasan. Dalam satu jam durasi penayangan di televisi iklan muncul untuk kesekian kalinya. Terlepas dari persoalan potensi finansial perusahaan media untuk memperoleh pendapatan besar dari iklan perusahaan rokok. Tayangan itu seakan mengedukasi kita untuk menghadapi dan menyelesaikan permasalahan hidup dengan kekerasan. hokum rimba berlaku, siapa yang kuat dialah pemenangnya. Seharusnya ada regulasi yang tegas dari pemerintah melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk lebih selektif dan kreatif dalam menyensor tayangan yang berdampak negatif bagi perilaku masyarakat Indonesia terutama anak dan remaja.

Menurut Rusdi Muchtar (dalam Kompas, 16 April 1998), seorang pakar komunikasi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, berita-berita kriminal di televisi sudah tampak begitu vulgar, sehingga dikhawatirkan memberikan dampak buruk bagi perkembangan psikologis anak dan remaja. Contoh berita kriminal yang vulgar di televisi, menurut Rusdi Muchtar, adalah penayangan secara detil tempat kejadian perkara kasus pembunuhan, bahkan sampai memperlihatkan ceceran darah dan potongan mayatnya. Selain itu tayangan itu juga ditayangkan berulang-ulang karena berpindah dari stasiun televisi yang satu ke satu televisi yang lain.

Perlu penanganan yang cukup serius dari semua pihak dalam menangani kasus meningkatnya perilaku kekerasan pada kalangan remaja ini. Seperti kita ketahui, anak-anak dan pelajar adalah asset negara yang sangat berharga. Karena kepada merekalah untuk selanjutnya tonggak estafet pembangunan bangsa diberikan. Jika tonggak estafet pembangunan diterima oleh insan-insan yang lemah dan rusak, maka dipastikan bangsa kita akan menghadapi masa depan yang suram. Pendidikan karakter telah lama menjadi perhatian pemerintah karena sebenarnya akar pemasalahan bangsa yang sangat kompleks pada awalnya berangkat dari permasalahan karakter bangsa.

Dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 1 (satu) antara lain disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Selain di dalam Undang-undang, karakter positif juga banyak ditulis dalam visi dan misi lembaga pendidikan. Pendidikan karakter menjadi tanggung jawab bersama bagi semua, baik di rumah maupun di sekolah.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal sering menjadi panutan dan tumpuan dalam berbagai hal termasuk panutan dalam mendidik karakter. Pendidikan karakter di sekolah disesuaikan dengan tingkat usia perkembangan mental peserta didik. Suyanto (2010) maupun Miftahudin (2010) sependapat bahwa pembentukan dan pengembangan karakter sudah terjadi sampai anak berusia remaja. Setelah dewasa, karakter yang dimiliki manusia relatif stabil dan permanen.

Pada usia pra sekolah, pendidikan karakter efektif dilakukan oleh keluarga. Oleh sebab itu, penting sekali bagi keluarga baru yang memiliki anak usia balita untuk memberi lingkungan belajar yang terbaik di rumah. Orang tua harus meluangkan waktunya untuk mendidik anak-anak. Ibu yang mempunyai beban ganda dengan bekerja di luar rumah, sebaiknya tidak mempercayakan sepenuhnya pola pengasuhan dan pendidikannya kepada pembantu di rumah. Anak usia sekolah (6-12 tahun) sudah mulai memasuki lingkungan di luar rumahnya. Anak akan lebih percaya dengan perkataan gurunya daripada orangtuanya sendiri. Pendidikan karakter anak usia sekolah dasar sangat efektif dilakukan di sekolah.

Lingkungan sekolah guru dan temannya memiliki peran yang kuat dalam membentuk karakter anak dan remaja yang masih berada dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan. Remaja memiliki kepribadian yang masih labil dan sedang mencari jati diri untuk membentuk karakter permanen. Kepribadian yang labil dengan ciri-ciri: mudah terpengaruh, selalu ingin mencoba hal yang baru, rasa ingin tahu yang cukup tinggi, mudah tersulut emosi dan lain sebagainya. Pendidikan pada usia remaja menjadi momen yang penting dan menentukan karakter seseorang setelah dewasa. Lingkungan pergaulan di sekolah maupun di rumah mempunyai peluang yang sama kuatnya dalam pengembangan karakter. Oleh sebab itu, perlu ada kerjasama dan komunikasi yang baik antara sekolah dan keluarga dalam mengembangkan karakter anak remaja.

Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani. kalau menilik satu persatu arti bahasa Jawa ini, Tut Wuri Handayani artinya “Tut Wuri” = Mengikuti dari belakang, “Handayani” = Penyemangat. Jadi arti dari kata “Tut Wuri Handayani” adalah seseorang harus mampu memberikan dorongan moral atau menjadi penyemangat bagi orang yang ada di sekitarnya. Begitulah ajaran dari Ki Hajar Dewantoro tentang bagaimana sosok seorang guru dalam memposisikan dirinya dalam melakukan tugas mulianya. Mendidik, mengayomi dan sekaligus mendampingi anak-anak didiknya. Tugas guru dalam mendampingi siswa remaja lebih kompleks daripada tugas guru pada siswa usia anak-anak. Sesuai dengan karakteristik mental usia remaja yang sedang dalam tahap pencarian jati diri, tugas guru dan sekolah adalah menciptakan lingkungan yang sebaik-baiknya dengan memberikan banyak aktivitas positif supaya remaja tidak terjerumus pada kegiatan negatif yang merugikan masa depannya.

Pendidikan karakter pada remaja dilakukan untuk pengendalian diri supaya remaja tidak terjerumus ke dalam karakter negatif. Dan agar terarah dalam karakter yang positif dan dapat diinternalisasi menjadi karakter yang permanen. Sebagai langkah preventif, sekolah harus kreatif dalam merancang dan menyediakan banyak pilihan kegiatan ekstrakurikuler dan intrakurikuler yang mendukung berkembangnya karakter positif tersebut dan menekan peluang munculnya karakter negatif.

Uraian di atas memberikan gambaran betapa peristiwa demi peristiwa menjadi pelajaran yang sangat berharga kepada semua pihak baik bagi guru maupun orang tua. Jangan sampai tragedi gladiator-gladiator lain terulang kembali. Pendampingan anak dalam pembentukan karakter bukan hal yang dianggap sepele. Pihak sekolah dan orang tua harus selalu menjalin komunikasi yang baik dan searah. Majemuknya masalah yang dialami remaja masa kini dengan arus percepatan globalisasi ikut berperan dalam memberikan stress. Tekanan-tekanan akibat perubahan kondisi sosial budaya serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat dapat mengakibatkan timbulnya masalah-masalah psikologis berupa gangguan penyesuaian diri atau ganguan perilaku.

Bagikan ke sosial media :