Selamat Datang di Website Resmi
Berdasarkan laporan The Economist, terdapat 25 negara di dunia di antaranya, Korea Selatan, Amerika Serikat, Jerman, Jepang, termasuk Indonesia yang akan bersiap menghadapi gelombang otomatisasi. Dalam laporan tersebut, juga disebutkan bahwa Meksiko, Vietnam, dan Indonesia berpotensi berada dalam risiko tertinggi.
Bukan wacana baru jika perkembangan robot, kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), dan otomatisasi bakal mengancam keberlangsungan beberapa tipe pekerjaan yang selama ini dikerjakan oleh manusia. Skenario paling buruk, ada potensi 800 juta pekerjaan hilang secara global, namun skenario terbaiknya, robot dapat menggantikan manusia untuk beberapa pekerjaan dengan tingkat risiko tinggi.
Lalu, bagaimana strategi negara-negara dunia menghadapi tantangan tersebut? Sebuah lembaga edukasi STEM melaporkan, bahwa skor tiap negara akan masuk dalam tiga kategori utama, yakni lingkungan yang berinovasi, kebijakan pendidikan, serta kebijakan buruh yang dibutuhkan pasar. Otomatisasi robot tentu lebih menargetkan pabrik besar dan produk fisik, namun otomatisasi lewat kecerdasan buatan berpotensi mengancam pekerjaan kantoran maupun produk virtual.
Apa saja jenis pekerjaan yang bakal terancam oleh kecerdasan buatan ini?
Kita mengenal pekerjaan data entry yang tergolong “repetitif “dan “membosankan”. Berkutat dengan tumpukan data yang dihasilkan sebuah organisasi atau individu, pekerjaan admin data entry pun tak berkembang jauh. Perusahaan akan membayar seseorang untuk mentransfer data dari satu format ke format lain, mengumpulkannnya jadi satu? Ya, pekerjaan ini tentu sangat mudah digantikan oleh teknologi.
Harapan? Tentu pekerjaan ini masih eksis saat ini, mengingat akumulasi data akan selalu menjadi bagian penting dalam pertumbuhan perusahaan. Namun, jangan berpuas diri, perlu ada kompetensi tambahan, misalnya menguasai sains data atau menganalisa data entry yang dilakukan mesin.
Profesi jurnalis sebenarnya sudah mulai tak relevan, ketika muncul tren citizen journalism di tengah perkembangan media elektronik dan digital seperti sekarang. Namun, dengan pengembangan artificial intelligent bukan tak mungkin semakin mengancam profesi ini. Misalnya saja, kemampuan bot untuk menghasilkan laporan atau artikel sudah mulai bisa dilakukan. Bahkan, perangkat bernama Lumen sudah menggunakan AI untuk menghasilkan sebuah video hanya dengan membaca artikel yang diunggah si pengguna di situsnya.
Harapan? AI semestinya tidak menjadi musuh. Bot sudah semestinya dimanfaatkan untuk memudahkan pengumpulan data statistik dan menggali pola-pola menarik dari data tersebut yang bisa menggiring pada cara baru mempresentasikan sebuah berita. Di masa depan, AI pun bisa dimanfaatkan untuk membaca personalisasi para pembaca atau audiens berdasarkan wawasan, lokasi, usia, bahkan tingkat bacaan. Dengan begitu, para jurnalis dapat menciptakan cerita sesuai personalisasi audiens dan berpotensi memperluas audiens mereka.
Bagi sebagian orang, bekerja di sektor keuangan menjadikan prestise tersendiri dengan anggapan gaji tinggi dan status terhormat. Namun, sektor ini pun tak luput dari ancaman pengembangan kecerdasan buatan. Komputer dapat mencari pola dan membuat perdagangan lebih cepat dibanding analisa manusia. Bahkan, banyak ahli yang sudah mengestimasi sebanyak 30 persen pekerjaan di sektor perbankan akan hilang dalam beberapa dekade mendatang.
Harapan? Pekerjaan mungkin akan berkurang, namun tentu masih ada peluang. Menggabungkan pengetahuan di sektor keuangan dengan ilmu komputer dan matematika tentunya akan membantu perkembangan sektor ini. Selain itu, membangun kedekatan hubungan dengan pelanggan tentunya akan menjadi “servis” tersendiri yang turut berkontribusi bagi pertumbuhan perusahaan.
Bicara soal otomatisasi layanan, para digital marketer pasti sudah mengenal perangkat bernama Chatbox yang tak memerlukan lagi para telemarketer yang lebih doyan bicara di telepon dibandingkan melayani dengan teks. Mengingat, buruknya tingkat konversi penjualan lewat telepon dan layanan pelanggan yang lama lewat telepon, maka Chatbox diklaim mampu memiliki performa lebih baik. Tentu, hal itu menjadi ancaman bagi orang-orang yang bekerja di sektor ini, yang sudah merasa terpukul dengan sistem outsourcing sendiri.
Harapan? Pekerjaan ini mungkin masih eksis, ketika mereka mampu menganalisa dan mengelola temuan AI terhadap karakter para pelanggannya. Sebuah perusahaan bernama Mattersight bahkan menggunakan teknologi pengenal suara untuk mencari tahu tipe kepribadian para penelpon layanan pelanggan. Dengan demikian, hal tentunya akan meningkatkan tingkat resolusi sebuah masalah yang dihadapi pelanggan.
Pernah menonton film Transcendence yang dibintangi aktor Johnny Depp? Apa yang bakal terjadi ketika semua aspek dalam kehidupan manusia bisa dideteksi oleh mesin? Transcendence mungkin menjadi satu dari beberapa film Hollywood yang menggambarkan kengerian akibat kemajuan teknologi AI. Salah satunya, ketika teknologi ini mampu mendeteksi sekaligus menyembuhkan penyakit manusia dengan cepat.
Tak dimungkiri jika algoritma memang mampu mendiagnosa penyakit di mana rekomendasi perawatan bisa langsung dirilis. Dalam dunia farmasi, AI juga dapat membuat perangkat yang membantu perawatan gangguan fisik atau robot bisa melakukan operasi. Penggunaan teknologi dalam dunia medis jelas berdampak besar.
Harapan? Diagnosa atau operasi mungkin suatu saat bisa dilakukan sempurna oleh mesin, namun teknologi masa depan sudah semestinya bisa bersifat kolaboratif dengan tenaga manusia di sektor medis. Sama seperti profesi yang lain, teknologi AI tidak bisa serta merta menggantikan peran manusia begitu saja.
===
Beberapa pakar berpendapat hilangnya pekerjaan akibat otomatisasi bisa diminimalisasi, karena sebagai manusia kita punya kemampuan untuk menciptakan pekerjaan baru dengan cepat ketika satu bagian sudah bisa dikerjakan mesin. Profesor ekonomi dari Boston University James Bessen mengungkapkan, kita selalu punya keinginan untuk menciptakan permintaan dan layanan baru yang belum eksis saat ini…
CEO Tesla Elon Musk pun masih optimistis, bahwa kemampuan adaptasi manusia di tengah tren otomatisasi ini bisa menjadi pembeda yang kritis. Sedangkan, profesor dari London School of Economics, Alan Manning lebih menekankan bahwa pemerintah wajib punya strategi dalam menghadapi otomatisasi.
“Saya tidak berpikir bahwa kamu bisa meninggalkan pasar ini begitu saja dan percaya bahwa akan terjadi inovasi di tingkatan yang tepat,”katanya.
Bagikan ke sosial media :