Selamat Datang di Website Resmi

SMK TEXMACO SEMARANG





Blog 27 November 2019 / FX. Aris Wahyu Prasetio

Revolusi Mental Pendidikan

Pendidikan layaknya sebuah hajatan besar setiap tahun di negeri tercinta ini dengan berbagai ritual edukatifnya, seperti pendaftaran peserta didik baru (PPDB), proses pembelajaran dengan segala dinamikanya, dan berujung pada ujian akhir tahun (USBN dan UNBK). Berbagai masalah yang sama dan massif sering terulang dalam dunia pendidikan bak cerita fiksi yang ribuan seri tak menentu kapan akhir ceritanya. Pendidikan menghabiskan waktu dan energi pada masalah yang sama tanpa terobosan yang jitu.

Di sisi lain, dunia terus berkembang pesat bahkan dunia digital telah menembus batas ruang dan waktu dengan kemajuan teknologi yang sukses merevolusi gaya hidup manusia. Perjumpaan manusia secara langsung (face to face) mulai tergantikan dengan komunikasi mutakhir dalam dunia maya dengan segala aktivitas dan fitur yang serba canggih. Jarak dan waktu bukanlah menjadi halangan lagi untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan bahkan bertransaksi di era digital sekarang ini.

Revolusi dunia tersebut secara absolut menjadi konteks zaman bagi dunia pendidikan yang melibatkan pendidik, peserta didik, orang tua, birokrat, dan berbagai stakeholder yang terkait. Konteks zaman yang mendasari proses pendidikan pun berkembang seiring revolusi dunia tersebut. Ironinya, sebagian besar dinamika pendidikan berjalan lambat dalam merespons revolusi dunia dengan paradigma, pedagogi, kurikulum, dan implementasi yang nyaris sama setiap tahunnya.

Paradigma Humanisme

Revolusi dunia sudah seharusnya dijadikan konteks sekaligus konten dalam proses pembelajaran dan pendampingan dalam dunia pendidikan. Pendidikan sudah bukan lagi proses transfer ilmu pengetahuan belaka, namun lebih dari itu pendidikan harus secara langsung mengolah manusia secara mendalam dan kontekstual. Proses pendidikan pra-sekolah, dasar, menengah, dan tinggi harus memiliki fondasi kuat dengan konteks zaman para peserta didik, yang saat ini kita kenal dengan anak-anak milenial.

Konteks digital dan milenial harus menjadi harga mati bagi desain kurikulum pendidikan dewasa ini. Pendidikan sudah semestinya mampu menggairahkan anak-anak zaman untuk belajar dan berdaya guna bagi dunia sesuai dengan kemampuan dan bakatnya. Seringkali konflik konteks antara pendidik dan peserta didik, antara genersi tua dan generasi muda, menghasilkan sebuah pola pendidikan yang memaksa dan penuh doktrin sehingga anak-anak menjadi objek penderita dari proses pendidikan yang tidak adil.

Humanisasi konteks pendidikan merupakan proses komunikasi pendidik, peserta didik, dan dunia yang menjadi dasar kuat bagi terlaksananya implementasi pendidikan yang humanis. Pendidikan yang humanis sejatinya mengedepankan realita kehidupan dalam mengolah akal, nurani, rasa peduli, dan komitmen hidup yang selalu up to date dengan perkembangan zaman.

Konteks pendidikan yang humanis menjadi modal besar bagi pengalaman edukatif dalam dunia pendidikan, baik untuk peserta didik dan juga pendidik. Selama ini pengalaman edukatif selalu merujuk pada transfer ilmu pengetahuan beserta hasil ujiannya yang sangat kental dengan aspek kognitif belaka. Celakanya lagi, akhir-akhir ini kualitas sekolah favorit atau berkualitas ditentukan oleh hasil ujian nasional. Hal ini mengabaikan kebiasaan-kebiasaan baik, olah nurani, pengembangan pribadi, dan komitmen baik yang tidak bisa diuji secara nasional dan tertulis.

Pengalaman edukatif hendaknya mengarah pada kesempatan bagi dunia pendidikan untuk melakukan formasi dan transformasi, baik bagi pendidik, peserta didik, dan pejabat di kalangan pendidikan. Formasi pendidikan sejatinya menjadi semangat utuh untuk membentuk setiap insan pendidikan yang aktual dengan dirinya, komunitas, dan zamannya.

Pengalaman edukatif ini tercermin dalam paradigma dan implementasi kurikulum nasional. Harus diakui bahwa kurikulum 2013 belumlah memberi harapan bagi terbangunnya pendidikan yang baik dan berkualitas. Bahkan, dengan kata lain justru kurikulum 2013 sering merepotkan bagi pendidik dan peserta didik. Pengalaman edukatif yang terjadi di banyak sekolah adalah transfer ilmu belaka yang diiringi dengan kekhawatiran pada ujian dan hasilnya.

Revolusi mental sebagai media transformasi sangat dibutuhkan dalam mendesain kurikulum hingga implementasinya. Beban mata pelajaran dan materi patut dipertimbangkan untuk dikaji ulang sehingga sekolah benar-benar menjadi tempat belajar yang menyenangkan dan menggairahkan bagi pendidik dan peserta didik.

Proses pembelajaran hendaknya benar-benar menjadi dinamika aktual, faktual, dan fungsional, yakni sesuai dengan zamannya, nyata dibutuhkan dalam hidup, dan bermanfaat bagi kelangsungan hidup di kemudian hari. Pembelajaran bukanlah semata-mata untuk mempersiapkan ujian dan mendapat nilai (skor).

Revolusi mental itu juga sudah semestinya membiasakan aspek refleksi dalam dunia pendidikan, yakni menggali makna hidup (life value) atas segala proses yang sudah dilalui. Menjadikan refleksi sebagai habitus (kebiasaan) adalah modal mendewasakan diri bagi pribadi, komunitas, lembaga, dan bangsa yang matang secara intelektual, emosional, sosial, dan komitmen diri.

Pendidikan tanpa refleksi adalah mati karena dunia akan mati hatinya dan rasa pedulinya karena tertutup dengan obsesi untuk menjadi yang terbaik secara kognitif belaka. Refleksi menjadi bagian dari proses humanisme dalam dunia pendidikan yang memperteguh proses formasi dan transformasi edukatif.

Pendidikan berkarakter menjadi bagian dari formasi dan transformasi di dunia pendidikan dalam mengembangkan pribadi dan membangun komunitas yang matang dalam berbagai aspek, yakni intelektual, spiritual, sosial, komitmen, dan networking. Perubahan kurikulum yang lebih beradab menjadi salah satu cara untuk mengarah pada pendidikan yang formatif dan trasnformatif.

Selain itu, mengusahakan berbagai model pembelajaran dan pendampingan yang humanis dalam proses pendidikan juga tak kalah penting dalam membangun generasi bangsa yang lebih baik. Saatnya, revolusi mental itu menjadi bagian vital dalam formasi dan transformsi pendidikan menuju peradaban bangsa yang humanis.

 
 

Bagikan ke sosial media :

Artikel Terbaru