Selamat Datang di Website Resmi
BILA pemuda masih diharapkan menjadi tulang punggung masa depan bangsa, maka yang harus dicegah adalah terjadinya pengeroposan dini semangat juang, keberanian, dan komitmen membela kepentingan bangsa. Spektrum tantangan sudah berubah, namun ketiga aspek ini tetap diperlukan sebab kesulitan dan keputusasaan bukan hak prerogatif kaum yang terjajah.
Kini tantangan yang dihadapi pemuda sudah berubah. Nilai-nilai kejuangan nyaris hanya hadir lewat proses pendidikan formal, sedangkan kekuatan yang melemahkannya datang dari berbagai arah. Kalau saja dianalogikan dengan hormon dalam tubuh, munculnya hormon pertumbuhan (auksin) nilai-nilai kejuangan amat lamban, sedang hormon penghambat pertumbuhan (absisat) amat cepat.
Bila dahulu pemuda didera kesulitan, kini beragam kemudahan memanja mereka. Bila dulu mereka dihantam kejamnya Belanda, atau bengisnya Inggris, kini tanpa disadari, mereka dininabobokan mainan asing yang menipu.
Bila dulu nasib pemuda dibuat tidak menentu oleh desingan mesiu, yang setiap saat bisa menyambar nyawa, kini mereka dibuat bingung oleh tidak nyambungnya pilihan program pendidikan dan lapangan kerja yang tersedia. Bila dulu pemuda dipasok semangat juang oleh tindakan senior mereka yang heroik, kini semangat mereka hanya dipompa lewat kata-kata, dan harus menoleh ke makam pahlawan bila hendak mencari teladan.
Sejak dahulu pemuda selalu diboboti nilai-nilai luhur. Kepeloporan pemuda dalam melahirkan Republik amat nyata. Mereka meninggalkan warisan (legacy) yang tak pernah lekang, seperti tergambar dalam kebaruan gagasan mereka dalam menghelat Kerapatan Besar Pemuda Indonesia (KBPI) II 28 Oktober 1928.
Di usianya yang baru menghinjak 23 tahun, Sugondo Djojopuspito (ketua Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia) telah memelopori Kerapatan Besar Pemuda Indonesia II, dan bertindak sebagai pimpinan sidang. Rapat tersebut bukan hanya menghasilkan Sumpah Pemuda, tetapi juga telah mengumandangkan proklamasi simbolik kelahiran Bangsa Indonesia yang merdeka. Proklamasi simbolik dimaksud terjadi lewat dua hal yang berlangsung saat kongres dihelat.
Kesatu, kongres melibatkan pemuda dari beragam organisasi kesukuan dan keagamaan. Selain tekanan kolonial, tarikan primordialisme pastilah kuat. Namun hambatan tadi tidak menyurutkan keinginan mereka untuk menyatukan diri dan mengesampingkan atribut-atribut yang mereka bawa sejak lahir dan menjadi instrumen pengasuhan mereka.
Keberanian para pemuda menggelar kongres lintas suku dan agama adalah proklamasi simbolik tekad mereka untuk hidup sebagai bangsa. Perbedaan yang melingkupi kehidupan pemuda tidak membuat mereka jadi sektarian, dan mengagungkan ciri primordial mereka, sambil merendahkan atribut kelompok lainnya. Kemauan mereka untuk bersatu telah membuka jalan untuk berhimpun dan menyatukan tekad sebagai bangsa, yang melintasi perbedaan suku, agama, bahasa, dan asal-usul pembeda lainnya.
Pidato yang disampaikan HOS Tjokroaminoto, 12 tahun sebelum kongres dihelat, menjadi contoh bagaimana embrio nasionalisme religius tumbuh. Semburat rasa cinta tanah air yang berlandaskan keimanan terpancar saat Tjokroaminoto berpidato pada Kongres Nasional Sarekat Islam di Bandung, 17-24 Juni 1916, "Kita mencintai bangsa kita, dan dengan kekuatan dari agama kita (Islam), kita harus berjuang untuk bisa mempersatukan semua, atau setidaknya mayoritas rakyat kita."
Kedua, pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa kongres kian menegaskan proklamasi simbolik yang dihelat para pemuda. Kesepakatan para pemuda menggunakan bahasa Melayu, yang nota bene bukan bahasa sehari-hari, dan bukan pula bahasa "akademik" mereka, adalah penegasan bahwa mereka hendak keluar dari tekanan kolonialisme, dan memilih menjadi bangsa yang berdiri tegak di atas kepribadiannya sendiri. Bukankah bahasa menunjukkan bangsa ?
Keputusan untuk menggunakan bahasa Melayu bukan pilihan mudah. Banyak tokoh pemuda tidak berbahasa Melayu. Jika tidak menggunakan bahasa daerah masing-masing, mereka lebih sering menggunakan bahasa Belanda.
Pemimpin sidang, Sugondo Djojopuspito, yang memimpin sidang dengan menggunakan bahasa Melayu, dinilai pengamat resmi KBPI dari Belanda, Van der Plas, sebagai tidak mampu membuktikan dirinya mampu melakukannya (berbahasa Melayu) dengan baik.
Bukan hanya pimpinan sidang, banyak peserta kongres mengalami kesulitan serupa. Kuatnya komitmen mereka untuk menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia) sebagai bahasa persatuan, membuat mereka belajar keras. Siti Soendari misalnya, yang tidak bisa berbahasa Melayu saat kongres pemuda, namun dua bulan kemudian, tepatnya saat menyampaikan pidato pada Kongres Perempuan Indonesia, 22-23 Desember 1928, adik bungsu dr. Soetomo (pendiri Budi Utomo) tersebut telah berpidato menggunakan bahasa Melayu dengan baik.
Lagi-lagi kemauan keras mereka telah membuka jalan. Demi jalan kebangsaan yang dituju, mereka mau melepaskan kebiasaan, meninggalkan zona nyaman, dan berusaha memahiri sesuatu yang asing bagi mereka. Inilah legacy yang ditinggalkan para pemuda penggagas kongres pemuda.
Kepeloporan mereka dalam kongres lintas suku dan agama, serta keputusan memilih bahasa Melayu dan meninggalkan bahasa Belanda adalah proklamasi simbolik menuju bangsa merdeka. Lalu apa yang diproklamasikan pemuda hari ini, yang lebih menyukai nyanyian dan tarian Korea, memuja produk asing, “males gerak” (mager) dan mengejar hasil akhir tanpa memedulikan proses?***
Bagikan ke sosial media :