Selamat Datang di Website Resmi

SMK TEXMACO SEMARANG





Blog 25 Januari 2015 / Suara Merdeka

Menarik Minat Belajar Magnet

SIAPA yang tak kenal magnet? Semua orang pasti mengenalnya. Benda atau materi yang dianggap ajaib oleh anak-anak kecil ini menjadi kajian fisika. Tapi sayang, ketika anak sudah duduk di bangku SMA, ketertarikan mereka terhadap magnet menjadi berkurang, kalau tidak boleh dikatakan sirna.

Karena sudah dikenal sejak kanak-kanak, barangkali materi ini menjadi kurang daya tariknya di mata siswa. Padahal jika dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, benda sederhana ini amat besar manfaatnya bagi kehidupan manusia.

Kondisi seperti itu pernah penulis temui pada siswa kelas XII IPA. Siswa tampak kurang antusias memelajari kemagnetan. Berbagai model dan metode pun pernah dicoba, tapi hasilnya sama saja.

Siswa tidak antusias dan sudah pasti kondisi ini akan berakibat pada pencapaian hasil belajar yang tidak optimal. Akhirnya penulis mencoba menerapkan model CTL (Contextual Teaching and Learning ) melalui metode observasi gejala fisis pada materi kemagnetan.

Model ini merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa. Selain itu, mendorong anak didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka.

Siswa disadarkan bahwa ilmu yang dipelajarinya tidak cuma untuk mendapat nilai bagus. Tapi lebih jauh dari itu. Ilmu kemagnetan yang dipelajarinya mampu memberi sumbangan besar bagi peradaban manusia.

Kemagnetan sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, tapi ternyata siswa jarang melakukan pengamatan gejala fisisnya. Siswa tidak banyak mengetahui fenomena alam serta penerapan kemagnetan dalam bidang teknologi.

Merumuskan Hipotesis

Misalnya, siswa dapat menghubungkan konsep medan magnet dengan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) dan menganalisis dampaknya bagi masyarakat. Siswa juga dapat menghubungkan konsep kemagnetan dengan teknologi kereta magnet di negara-negara maju kemudian menganalisis keuntungan dan kerugiannya bila diterapkan di Indonesia.

Bertolak dari kondisi itu, penulis membagi siswa dalam kelompok kecil. Kemudian guru menayangkan materi kemagnetan melalui LCD. Siswa juga dapat melakukan kroscek pada buku lembar kerja siswa (LKS). Tiap kelompok mendiskusikan tayangan guru untuk menghubungkannya dengan fenomena sosial.

Pada tahap ini siswa merumuskan hipotesis. Tentu saja dalam pembahasannya, siswa tidak hanya cukup mengaitkan materi yang dipelajari dengan bidang sosiologi atau disiplin ilmu lainnya.

Mereka harus punya argumentasi kuat berdasarkan observasi dan percobaan sederhana yang dilakukan pada tahap berikutnya di bawah bimbingan guru. Di sini peran guru sedikit saja, yakni memberikan bimbingan secara klasikal maupun individual.

Selanjutnya, siswa menuangkan hasil diskusi dan temuannya dalam bentuk makalah. Ditekankan oleh guru, meski hasil kerja mereka selama ini dilaksanakan secara kelompok, tapi tugas makalah dikerjakan secara individu. Hal ini membawa konsekuensi bahwa tiap siswa harus aktif selama kegiatan observasi fisis.

Dari tugas yang dikumpulkan itu tampak bahwa siswa sangat antusias memelajari materi kemagnetan. Hal ini didorong rasa keingintahuan mereka saat materi yang dipelajari dihubungkan dengan bidang lain dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, tidak ada salahnya guru fisika berkreasi menerapkan model-model pembelajaran yang sesuai dengan hakikat sains ilmu fisika agar aspek kognitif, afektif dan psikomotor siswa dapat berkembang secara optimal. (81)

— Aris Kusmanto, guru fisika SMA Negeri 3 Salatiga

Bagikan ke sosial media :

Artikel Terbaru