Selamat Datang di Website Resmi
Hadirnya industri 4.0 kini menimbulkan harapan baru dalam percepatan kemajuan ekonomi sekaligus tantangan dalam penciptaan kesempatan kerja.
Adapun Industri 4.0 lahir setelah didahului tiga generasi sebelumnya, yaitu generasi pertama mesin uap, generasi kedua elektrifikasi, dan generasi ketiga komputer. Generasi keempat atau industri 4.0 ialah sistem siber fisik (cyber physical system), dengan digitasi dan interkoneksi produk, rantai nilai (value chains) dan model bisnis. Industri 4.0 juga mencakup riset, jejaring pelaku industri, dan standardisasi (European Commission, Germany; Industrie 4.0, 2017).
Dengan digitasi interkoneksi produk, mata rantai perdagangan dapat diperpendek sehingga mempercepat mobilitas arus barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Pada tahap lanjut, hal itu akan menurunkan biaya operasional sehingga berpotensi meningkatkan kegiatan ekonomi dan pendapatan produsen serta efisiensi konsumen.
Namun, kehadiran industri 4.0 bukan tanpa kelemahan. Berdasarkan analisis SWOT dari ‘Digital Transformation Monitor’, faktor kelemahan industri 4.0 ialah potensi berkurangnya tenaga kerja pada level bawah, yang umumnya berpendidikan rendah. Penerapan industri 4.0 memang memerlukan prasyarat SDM berkualitas.
Bahkan, kesempatan kerja berpendidikan rendah di sektor industri secara keseluruhan diperkirakan akan kian terbatas mengingat percepatan arus barang dan jasa dari produsen ke konsumen pada gilirannya memacu kegiatan industri mengaplikasikan teknologi maju.
Menurut John Newbigin (dalam laman British Council, Selasa, 19/2) menyebutkan bahwa dalam 20 tahun ke depan sebanyak 47% pekerjaan di Amerika Serikat (AS) dan 35% di Inggris (UK) akan digantikan oleh mesin.
Daya tahan industri kreatif
Namun, ancaman kehadiran industri 4.0 terhadap pengurangan tenaga kerja tidak berlaku pada seluruh kegiatan industri. Adapun salah satu kegiatan industri yang tidak terlalu berdampak pengurangan tenaga kerja ialah industri kreatif sebab industri kreatif berbasis kreativitas, seni, budaya, dan inovasi, yang menurut UNCTAD dikelompokkan atas empat grup, yaitu seni, warisan, media, dan kreativitas fungsional.
Lebih jauh, studi Nesta (2015) tentang ‘Robot versus Kreativitas’ menyebutkan bahwa pekerjaan di sektor kreatif dapat bertahan dari ancaman otomatisasi sekitar 86% di AS dan 87% di UK.
Bahkan, keberadaan sektor kreatif jika dikembangkan secara serius menurut Nesta dapat menjadi motor penggerak ekonomi pada abad ke-21.
Hal sama juga berpotensi terjadi di Indonesia seperti dilansir Global Business Guide. Keberadaan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) sebagai badan pengelola industri kreatif di Tanah Air, memberikan kontribusi sebesar Rp990,4 triliun atau 7,44% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Namun, untuk meningkatkan kontribusi industri kreatif terhadap perekonomian dan kesempatan kerja ke depan, pemerintah perlu segera mengatasi sejumlah kendala. Berdasarkan data dari kerja sama BPS dan Bekraf pada 2017 ditemukan kendala, antara lain 92,37% kegiatan industri kreatif dijalankan dengan modal sendiri (self funded), 88,95% tidak memiliki hak intelektual properti. Selain itu, pemasaran produk industri kreatif masih terkonsentrasi pada pasar lokal yang besarannya mencakup 97,36%.
Mengatasi kendala
Maka dari itu, untuk pengembangan industri kreatif di Tanah Air diperlukan perhatian pemerintah untuk mengatasi aneka kendala yang kini dihadapi. Selain bantuan permodalan usaha, hal lain yang paling penting dilakukan ialah pelatihan keterampilan dalam pengelolaan usaha dan pemasaran. Produk industri kreatif perlu dipasarkan secara luas sehingga diperlukan pengetahuan pemasaran bagi pelaku industri kreatif.Ke depan, pengembangan produk industri kreatif perlu diperluas dan berorientasi ekspor. Kita perlu merebut potensi pasar ekspor produk industri keratif pada tataran global yang besarnya amat menggiurkan. Berdasarkan perkiraan UNESCO (2018), nilai ekspor global produk barang dan jasa industri kreatif mencapai US$250 miliar per tahun atau 10% dari PDB, dan penciptaan kesempatan kerja mencapai 30 juta orang.
Maka dari itu, sejalan dengan rencana pemerintah untuk fokus ke pembangunan sumber daya manusia (SDM) pada 2019, amat diharapkan hal itu juga mencakup SDM untuk pengembangan industri kreatif. Namun, pembangunan SDM pada industri kreatif dalam konteks ini agak berbeda dengan pembangunan SDM untuk kegiatan lainnya.
Secara umum, pembangunan SDM yang kini gencar dilakukan pemerintah melalui pendidikan vokasi ialah untuk meningkatkan keterampilan teknis sesuai dengan kebutuhan pasar kerja (link and match). Namun, untuk pembangunan SDM pada industri kreatif, aspek yang amat dibutuhkan ialah bukan pada aspek peningkatan keterampilan teknis, melainkan pada peningkatan kemampuan pengelolaan usaha dan pemasaran produk agar dapat lebih optimal pada kegiatan ekonomi kreatif dan membuka peluang berusaha mandiri.
Secara faktual, hal itu sekaligus menegaskan bahwa pembangunan SDM pada 2019 tidak harus selalu dikaitkan dengan orientasi bekerja di sektor formal. Pembangunan SDM juga perlu diarahkan pada penciptaan kegiatan usaha secara mandiri, terutama di industri kreatif.
Selain jenis keterampilan yang cukup spesifik dalam pembangunan SDM, penentuan target pembangunan SDM dalam industri kreatif juga perlu dilakukan secara eksklusif. Dalam konteks ini, barangkali target utama pembangunan SDM untuk industri kreatif ialah para pelaku usaha dan pekerja industri kreatif, dan peminat untuk melakukan kegiatan usaha di industri kreatif, khususnya penganggur milenial.
Sangat diharapkan, upaya pengembangan industri kreatif dapat segera terwujud untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, dan peningkatan kesejahteraan. Meski tenaga kerja industri kreatif dapat bertahan di era industri 4.0, peningkatan SDM dalam pengelolaan usaha dan pemasaran perlu ditingkatkan agar optimal meningkatkan nilai tambah (value added) dalam kegiatan ekonomi kreatif.
Bagikan ke sosial media :