Selamat Datang di Website Resmi

SMK TEXMACO SEMARANG





Blog 19 Februari 2015 / M. Iqbal Tawakkal

Darurat Limbah Plastik

Implementasi kebijakan daripada gagasan Poros Global Maritim tidak melulu soal bagaimana pemerintah menyelesaikan kasus penangkapan ikan illegal, mengelola sumber daya perikanan tangkap, dan menyusun strategi diplomasi maritim. Kini, Indonesia dihadapkan pada satu kondisi serius yang menyangkut pengelolaan limbah dan lingkungan lautnya. Indonesia, dengan Tiongkok, adalah negara penyumbang limbah plastik ke lautan terbesar di dunia.

Riset yang dilakukan oleh tim peneliti ilmu lingkungan dari University of California tahun 2015, seperti yang dilansir oleh The Wall Street Journal pada Kamis 12/2, menyebutkan bahwa Tiongkok dan Indonesia adalah dua negara penyumbang limbah plastik terbesar di lautan. Limbah ini meliputi limbah botol dan kantong plastik, serta zat-zat sisa makhluk hidup lainnya (marine detritus).

Ancaman serius

Tim peneliti yang dipimpin oleh Jenna Jambeck, seorang asisten professor teknik lingkungan di University of Georgia, ini menyimpulkan setidaknya ada 192 negara yang menjadi penyumbang limbah plastik ke lautan. Data riset dihimpun melalui data konsumen dan basis data pengelolaan limbah yang meliputi seluruh populasi masyarakat pesisir di dunia. Hasilnya, Tiongkok dan Indonesia merupakan dua negara penyumbang limbah plastik terbesar.

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis pantai sepanjang 95.181 km dan memiliki populasi masyarakat pesisir (dan kota-kota besar di pesisir) sebesar 161 juta jiwa atau 60% dari total penduduk Indonesia. Pada tahun 2010, masyarakat pesisir Indonesia telah menghasilkan 3.22 juta ton limbah plastik yang tidak terkelola dengan baik, atau sekitar 10 persen dari total limbah plastik di dunia. Dari jumlah tersebut, kisaran limbah antara 0.48 juta hingga 1.29 juta ton limbah plastik masuk ke dalam kategori marine waste.

Dari angka tersebut, tidak mengherankan jika Indonesia tercatat sebagai negara penghasil limbah plastik terbesar kedua di dunia. Fakta ini menghadapkan kita pada isu lingkungan yang berbahaya. Melimpahnya sampah plastik di lautan merupakan ancaman serius bagi ekosistem laut.

Bahaya limbah plastik

Unsur terbesar dalam zat pencemar laut adalah plastik. Plastik merupakan bahan yang sangat tidak mudah terurai. Ketika masuk ke lautan, plastik membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terdegradasi dibanding ketika di daratan. Menurut laman situs Safers Against Sewage (sas.org.uk), sebuah organisasi non-pemerintah bidang lingkungan, botol plastik biasa yang masuk ke perairan membutuhkan waktu kurang lebih 450 tahun untuk dapat terdegradasi sempurna.

Plastik juga dapat mengadsorpsi senyawa-senyawa kimia laut, yang menyebabkan plastik dapat menjadi material asing yang sangat berbahaya, dan seringkali masuk ke dalam rantai makanan organisme laut seperti ikan, burung laut, mamalia laut, organisme lainnya. Setidaknya tercatat 100.000 mamalia laut dan lebih dari satu juta burung laut mati setiap tahunnya dikarenakan gangguan pencernaan dari sampah-sampah plastik di lautan. Jika terus dibiarkan, ini akan menggangu keberlangsungan dan keseimbangan ekosistem serta biodiversitas di lautan.

Isu lingkungan ini merupakan realitas yang kontraproduktif dengan cita-cita Presiden Jokowi untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Global Maritim. Seperti yang telah disebutkan di awal, implementasi kebijakan Poros Global Maritim harus mampu mencerminkan identitas Indonesia yang memiliki kekuatan dalam mengelola seluruh aspek kemaritimannya. Pengelolaan limbah laut menjadi salah satu komponen paling penting karena menyangkut keberlangsungan ekosistem dan biodiversitas laut.

Mengelola limbah

Dalam hal ini, kita patut belajar dari negara-negara lain seperti Inggris, Norwegia, Jepang, dan Amerika Serikat. Keempat negara tersebut memiliki kapabilitas pengelolaan aspek kemaritiman yang begitu kuat. Data asupan limbah laut dari penelitian yang sama menunjukkan, angka asupan limbah plastik dari keempat negara tersebut berkisar antara 0.1 hingga 0.3 juta ton. Ini menunjukkan, Inggris, Norwegia, Jepang, dan Amerika Serikat memiliki komitmen, upaya, dan sistem pengelolaan limbah laut yang baik.

Upaya penanganan limbah plastik yang tak terkendali membutuhkan langkah-langkah masif dan terstruktur. Dalam hal ini, setidaknya terdapat tiga langkah utama yang dapat diimplementasikan.

Pertama, pemerintah agar membuat rencana induk pengelolaan limbah laut terpadu. UU Republik Indonesia No. 32 tahun 2014 tentang Kelautan, dalam ketentuan umum pasal 1 poin 10, telah disebutkan bahwa upaya sistematis dan terpadu dilakukan sebagai langkah perlindungan laut dari pencemaran laut. Namun, hingga kini belum ada implementasi riil berupa kebijakan yang mengatur aspek-aspek sumber pencemaran laut itu sendiri, seperti kegiatan di pelabuhan, kapal-kapal, pantai wisata, kegiatan nelayan dll. Kebijakan ini perlu diproyeksikan kepada operasi manajemen pencemaran laut yang aman dan profesional .

Kedua, pemerintah agar bekerja sama dengan perguruan tinggi. Perguruan tinggi perlu diarahkan dalam mengembangkan riset-riset unggulannya untuk menangani persoalan pengelolaan limbah laut dan meminimalisir resiko lingkungan yang diakibatkannya. Upaya ini memerlukan sinergisitas antarkementerian yang profesional, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenrisetdikti).

Ketiga, partisipasi aktif dari berbagai elemen masyarakat Partisipasi tersebut kini telah banyak kita jumpai dalam bentuk kegiatan berupa coastal clean-up dan kegiatan lainnya.

Akhir kata, kita tidak bisa diam ketika dihadapkan pada isu lingkungan ini. Sebagai langkah kecil kita untuk memulai, kita dapat menekan penggunaan bahan plastik dalam kehidupan kita sehari-hari. Kesadaran dan kepedulian publik ini perlu ditingkatkan dan ditularkan kepada sesama sebagai upaya kita dalam menyelamatkan dan melestarikan lingkungan laut untuk anak cucu kita kelak.

 

 

Bagikan ke sosial media :

Artikel Terbaru